Sutan Syahrir (1909-1966) adalah perdana menteri Indonesia pertama
dalam tiga kabinet yang berbeda dan merangkap Menteri Dalam dan Luar
Negeri (1945-1947). Sutan Syahrir merupakan perdana menteri termuda di
dunia ketika pertama kali menjadi perdana menteri. Ia juga pimpinan
Partai Sosialis Indonesia (PSI) dan pernah menjadi penasihat Presiden
Soekarno (1947). Sutan Syahrir merupakan salah seorang pahlawan
nasional.
Sutan Syahrir lahir di Padang Panjang, Sumatera Barat,
pada 5 Maret 1909. Ayahnya bernama Mohammad Rasjad dan bergelar
Maharadja Soetan, berasal dari Koto Gadang, Bukit Tinggi. Ayah Syahrir
adalah penasihat sultan Deli dan ibunya berasal dari Natal, Tapanuli,
Sumatera Utara.
Riwayat pendidikan Sutan Syahrir dimulai dari
jenjang Europesche Lagere School (ELS), Meer Uitgebreid Lager Onderwijs
(MULO) di Medan, dan menamatkan pendidikannya di Algemene Middelbare
School (AMS) Bandung (1929). Pada 1929-1932, Sutan Syahrir melanjutkan
pendidikannya di Fakultas Hukum Universitas Amsterdam, Belanda, tetapi
tidak tamat. Sutan Syahrir wafat di Zurich, Swiss, pada 9 April 1966
karena menderita tekanan darah tinggi dan brain stroke.
PNI Baru
Sutan
Syahrir aktif mengikuti kegiatan Perhimpunan Indonesia, sebuah
perkumpulan pelajar Indonesia di negeri Belanda. Rasa nasionalismenya
berkembang ketika bergabung dalam Perhimpunan Indonesia yang bertujuan
memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Pada 1932 Sutan Syahrir diutus
pengurus Perhimpunan Indonesia kembali ke Indonesia untuk membenahi
Partai Nasional Indonesia.
Partai Nasional Indonesia hancur
setelah pimpinan utama dan para aktivisnya ditangkapi oleh polisi
Hindia Belanda pada akhir 1929. Syahrir menolak pembubaran Partai
Nasional Indonesia dan bersama beberapa temannya membentuk Partai
Nasional Indonesia Merdeka yang kemudian diubah menjadi Pendidikan
Nasional Indonesia Baru (Pendidikan Nasional Indonesia Baru).
Ditangkap dan Dibuang
Aktivitas
Sutan Syahrir dalam Pendidikan Nasional Indonesia Baru dinilai sangat
membahayakan oleh pemerintah Hindia Belanda. Pada 25 Februari 1934 ia
ditangkap polisi Hindia Belanda dan dibuang ke Boven Digul, di
pedalaman Irian Jaya (awal Januari 1935). Banyak pihak mengecam
pembuangan Sutan Syahrir ke Boven Digul.
Pemerintah Hindia
Belanda kemudian memindahkannya ke Banda Neira (Pulau Banda) pada
November 1935 dan selanjutnya ke Sukabumi, Jawa Barat (1942). Tidak
lama kemudian pasukan Jepang yang mengalahkan pemerintah Hindia
Belanda, membebaskan seluruh tahanan politik termasuk Syahrir.
Meski
dibebaskan pemerintah militer Jepang, namun Sutan Syahrir tidak
bekerjasama. Ia justru menyusun perlawanan bawah tanah. Kebenciannya
terhadap fasisme Jepang sama besarnya dengan kolonialisme dan
imperialisme Belanda. Sutan Syahrir termasuk tokoh yang menolak
proklamasi kemerdekaan Indonesia dilakukan atas nama Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
Partai Sosialis Indonesia
Proklamasi
17 Agustus 1945 yang tidak diakui pemerintah Belandamengakibatkan
perang antara Indonesia dan Belanda (1945-1949). Pihak Indonesia
terpecah ke dalam dua cara penyelesaian, yakni, melalui diplomasi dan
aksi militer.
Syahrir menganjurkan jalur
diplomasi. Para penentang jalur diplomasi lalu bersatu dalam kelornpok
Persatuan Perjuangan. Pada 3 Juli 1946 Syahrir diculik namun dilepaskan
setelah ditekan oleh Presiden Soekarno. Syahrir yang sejak awal adalah
penentang komunisme, mendirikan Partai Sosialis Indonesia pada 12
Februari 1948 di Klitren, Yogyakarta, yang berideologi sosialisme.
Hal
ini menyebabkan Partai Sosialis Indonesia selalu bertentangan dengan
Partai Komunis Indonesia. Pada 17 Agustus 1960, Partai Sosialis
Indonesia dibubarkan oleh Presiden Soekarno karena para pemimpinnya
terlibat dalam pernberontakan PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik
Indonesia). Dua tahun setelah Partai Sosialis Indonesia dibubarkan,
Syahrir ditahan dan dipenjarakan (1962) hingga meninggal dunia empat
tahun kemudian.
Sarojini Naidu, wanita pejuang kemerdekaan India
yang mengetuai Inter-Asian Relation Conference di New Delhi, India
(Maret 1947), memperkenalkan Sutan Syahrir di depan konferensi sebagai
"the atomic prime minister"