Mr. Assaat (18 September 1904 – 16 Juni 1976) adalah tokoh pejuang
Indonesia, pemangku jabatan Presiden Republik Indonesia pada masa
pemerintahan Republik Indonesia di Yogyakarta yang merupakan bagian dari
Republik Indonesia Serikat (RIS).
Mr. Assaat dilahirkan di dusun pincuran landai kanagarian Kubang
Putih Banuhampu adalah orang sumando Sungai Pua, menikah dengan Roesiah,
wanita Sungai Pua di Rumah Gadang Kapalo Koto, yang telah meninggalkan
beliau pada 12 Juni 1949, dengan dua orang putera dan seorang puteri.
Sekitar tahun 1946-1949, di Jalan Malioboro, Yogyakarta, sering
terlihat seorang berbadan kurus semampai berpakaian sederhana sesuai
dengan irama revolusi. Terkadang ia berjalan kaki, kalau tidak bersepeda
menelusuri Malioboro menuju ke kantor KNIP tempatnya bertugas. Orang
ini tidak lain adalah Mr. Assaat, yang selalu menunjukkan sikap
sederhana berwajah cerah di balik kulitnya yang kehitam-hitaman.
Walaupun usianya saat itu baru 40 tahun, terlihat rambutnya mulai
memutih. Kepalanya tidak pernah lepas dari peci beludru hitam.
Mungkin generasi muda sekarang kurang atau sedikit sekali mengenal
perjuangan Mr. Assaat sebagai salah seorang patriot demokrat yang tidak
kecil andilnya bagi menegakkan serta mempertahankan Republik Indonesia.
Assaat adalah seorang yang setia memikul tanggung jawab, baik selama
revolusi berlangsung hingga pada tahap akhir penyelesaian revolusi. Pada
masa-masa kritis itu, Assaat tetap memperlihatkan dedikasi yang luar
biasa.
Ia tetap berdiri pada posnya di KNIP, tanpa mengenal pamrih dan patah
semangat. Sejak ia terpilih menjadi ketua KNIP, jabatan ini tidak
pernah terlepas dari tangannya. Sampai kepadanya diserahkan tugas
sebagai Penjabat Presiden RI di kota perjuangan di Yogyakarta.
Sebagai ilustrasi dapat dikemukakan, Komite Nasional Indonesia Pusat
(KNIP) dan Badan Pekerjanya selama revolusi sedang berkobar telah dua
kali mengadakah hijrah. Pertama di Jakarta, dengan tempat bersidang di
bekas Gedung Komedi (kini Gedung Kesenian) di Pasar Baru dan di gedung
Palang Merah Indonesia di Jl. Kramat Raya. Karena perjuangan bertambah
hangat, demi kelanjutan Revolusi Indonesia, sekitar tahun 1945 KNIP
dipindahkan ke Yogyakarta.
Kemudian pada tahun itu juga KNIP dan Badan Pekerja, pindah ke
Purworejo, Jawa Tengah. Ketika situasi Purworejo dianggap kurang aman
untuk kedua kalinya KNIP hijrah ke Yogyakarta. Pada saat inilah Mr.
Assaat sebagai anggota sekretariatnya. Tidak lama berselang dia ditunjuk
menjadi ketua KNIP beserta Badan Pekerjanya.
Diasingkan
Api revolusi mempertahankan proklamasi 17 Agustus 1945 terus
menggelora. Belanda dengan kekuatan militernya melancarkan apa yang
mereka namakan Agresi Militer II. Mr. Assaat ditangkap Belanda bersama
Bung Karno dan Bung Hatta serta pemimpin Republik lainnya, kemudian di
asingkan di Manumbing di Pulau Bangka.
Rambutnya bertambah putih, karena uban makin melebat sejak diasingkan
di Manumbing dan Mr. Assaat mulai memelihara jenggot. Assaat bukan ahli
pidato, dia tidak suka banyak bicara, tetapi segala pekerjaan bagi
kepentingan perjuangan semua dapat diselesaikannya dengan baik, semua
rahasia negara dipegang teguh, itulah sebabnya dia disenangi dan
disegani oleh kawan dan lawan politiknya.
Ketika menjadi Penjabat Presiden, pers memberitakan tentang
pribadinya, antara lain beliau tidak mau dipanggil Paduka Yang Mulia,
cukup dengan panggilan Saudara Acting Presiden. Panggilan demikian
memang agak canggung di zaman itu. Akhirnya Assaat bilang, panggil saja
saya “Bung Presiden”. Di sinilah letak kesederhanaan Assaat sebagai
seorang pemimpin.
Hal itu tergambar pula dengan ketaatannya melaksanakan perintah
agama, yang tak pernah meninggalkan shalat lima waktu. Dan dia termasuk
seorang pemimpin yang sangat menghargai waktu, sama halnya dengan Bung
Hatta.
Latar belakang Mr. Assaat
Assaat belajar di sekolah agama “Adabiah” dan MULO Padang,
selanjutnya ke School tot Opleiding van Inlandsche Artsen Jakarta.
Karena jiwanya tidak terpanggil menjadi seorang dokter, ditinggalkannya
STOVIA dan melanjutkan ke AMS (SMU sekarang). Dari AMS, Assaat
melajutkan studinya ke Rechts Hoge School (Sekolah Hakim Tinggi) juga di
Jakarta.
Ketika menjadi mahasiswa RHS inilah, beliau memulai berkecimpung
dalam gerakan kebangsaan, ialah gerakan pemuda dan politik. Masa saat
itu Assaat giat dalam organisasi pemuda “Jong Sumatranen Bond”. Karir
politiknya makin menanjak lalu berhasil menduduki kursi anggota Pengurus
Besar dari “Perhimpunan Pemuda Indonesia”. Ketika Perhimpunan Pemuda
Indonesia mempersatukan diri dalam “Indonesia Muda”, ia terpilih mejadi
Bendahara Komisaris Besar ” Indonesia Muda”.
Dalam kedudukannya sebagai mahasiswa, Assaat memasuki pula gerakan
politik “Partai Indonesia” disingkat Partindo. Dalam partai ini, Assaat
bergabung dengan pemimpin Partindo seperti: Adnan Kapau Gani, Adam
Malik, Amir Sjarifoeddin dll.
Kegiatannya di bidang politik pergerakan kebangsaan, akhirnya tercium
oleh profesornya dan pihak Belanda, sehingga dia tidak diluluskan
walaupun setelah beberapa kali mengikuti ujian akhir. Tersinggung atas
perlakuan demikian, gelora pemudanya makin bergejolak, dia putuskan
meninggalkan Indonesia pergi ke Belanda. Di Belanda dia memperoleh gelar
“Meester in de Rechten” (Mr) atau Sarjana Hukum.
Praktek Advokat
Sebagai seorang non kooperator terhadap penjajahan Belanda,
sekembalinya ke tanah air di tahun 1939 Mr. Assaat berpraktek sebagai
advokat hingga masuknya Jepang tahun 1942. Di zaman Jepang dia diangkat
sebagai Camat Gambir, kemudian Wedana Mangga Besar di Jakarta.
Dalam sejarah perjuangannya ikut menegakkan Republik Proklamasi,
beberapa catatan mengenai Assaat ialah: tahun 1946-1949 (Desember)
menjadi Ketua BP-KNIP (Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat).
Desember 1949 hingga Agustus 1950 menjadi Acting Presiden Republik
Indonesia di Yogyakarta. Dengan terbentuknya RIS (Republik Indonesia
Serikat), jabatannya sebagai Penjabat Presiden pada Agustus 1950
selesai, demikian juga jabatannya selaku ketua KNIP dan Badan
Pekerjanya. Sebab pada bulan Agustus 1950 negara-negara bagian RIS
melebur diri dalam Negara Kesatuan RI.
Selama memangku jabatan, Assaat menandatangani statuta pendirian
Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta. “Menghilangkan Assaat dari
realitas sejarah kepresidenan Republik Indonesia sama saja dengan tidak
mengakui Universitas Gadjah Mada sebagai universitas negeri pertama yang
didirikan oleh Republik Indonesia,” ujar Bambang Purwanto dalam pidato
pengukuhan sebagai guru besar UGM September 2004.
Setelah pindah ke Jakarta, Mr. Assaat menjadi anggota parlemen
(DPR-RI), sampai ia duduk dalam Kabinet Natsir jadi Menteri Dalam Negeri
September 1950 sampai Maret 1951. Kabinet Natsir bubar, kembali jadi
anggota Parlemen, semenjak itulah Assaat kurang terdengar namanya dalam
bidang politik.
Pada tahun 1955 namanya muncul lagi di permukaan, sebagai formatur
Kabinet bersama Dr. Soekiman Wirjosandjojo dan Mr. Wilopo untuk
mencalonkan Bung Hatta sebagai Perdana Menteri. Karena waktu itu
terhembus angin politik begitu kencang, daerah-daerah kurang puas dengan
beleid (kebijakan) pemerintahan Pusat. Daerah-daerah menyokong Bung
Hatta, tetapi upaya tiga formatur tersebut menemui kegagalan, karena
formal politis waktu itu, Parlemen menolaknya.
Menentang Komunis
Ketika Demokrasi Terpimpin dicetuskan Soekarno, Assaat sebagai
demokrat dan orang Islam menentangnya. Secara pribadi Bung Karno tetap
dihormatinya, tetapi yang ditentangnya politik Bung Karno yang
seolah-olah memberi angin pada Partai Komunis Indonesia.
Mr. Assaat saat itu merasakan jiwanya terancam, karena Demokrasi
Terpimpin adalah tak lain dari diktator terselubung, ia selalu diintip
oleh intel serta orang-orang PKI. Kemudian dengan cara menyamar sebagai
orang “akan berbelanja” bersama dengan keluarganya naik becak dari Jl.
Teuku Umar ke Jl. Sabang, dari sana dilanjutkan dengan naik becak menuju
Stasion Tanah Abang.
Mr. Assaat beserta keluarga berhasil menyeberang ke Sumatera. Dia
berdiam beberapa hari di Palembang. Ketika itu Sumatra Selatan sudah
dibentuk “Dewan Gajah” yang dipimpin oleh Letkol Barlian. Di Sumatra
Barat Letkol Ahmad Husein membentuk “Dewan Banteng”. Kol. Simbolon
mendirikan “Dewan Gajah” di Sumatera Utara, sementara Kol. Sumual
membangun “Dewan Manguni” di Sulawesi.
Akhirnya dewan-dewan tersebut bersatu menentang Sukarno yang telah
diselimuti oleh PKI. Terbentuklah PRRI (Pemerintahan Revolusioner
Republik Indonesia). Assaat yang ketika itu sudah tiba di Sumatera Barat
bergabung dengan PRRI. Kemudian berkeliaran di hutan-hutan Sumatera,
setelah Pemerintah Pusat menggempur kekuatan PRRI.
Upacara Kebesaran
Ketika berada di hutan-hutan Sumatera Barat dan Sumatera Utara, Mr.
Assaat sudah merasa dirinya sering terserang sakit. Akhirnya dia
ditangkap, dalam keadaan fisik lemah dan menjalani “hidup” di dalam
penjara “Demokrasi Terpimpin” selama 4 tahun dari tahun 1962-1966. Ia
baru keluar dari tahanan di Jakarta, setelah munculnya Orde Baru.
Pada tanggal 16 Juni 1976, Mr. Assaat meninggal dirumahnya yang
sederhana di Warung Jati Jakarta Selatan. Mr. Assaat gelar Datuk Mudo
diantar oleh teman-teman seperjuangannya, sahabat, handai tolan dan
semua keluarganya, dia dihormati oleh negara dengan kebesaran militer.
Perdana menteri pertama Republik Indonesia atau Presiden Sementara Republik Indonesia
Masa jabatan : 27 Desember 1949 – 15 Agustus 1950
Pendahulu : Soekarno
Pengganti : Soekarno
Lahir : 18 September 1904 Dusun Pincuran Landai,kanagarian Kubang Putih, Banuhampu, Sumatera Barat, Indonesia
Meninggal : 16 Juni 1976 (umur 71)
Suami/Istri : Roesiah
Agama : Islam