H.R. Rasuna Said dilahirkan pada tanggal 15 September 1910 di Desa
Panyinggahan, Maninjau, Kabupaten Agam, Sumatera Barat dan wafat pada
tanggal 2 November 1965 di Jakarta.
Rasuna Said diangkat sebagai
salah satu pahlawan nasional berdasarkan Surat Keputusan Presiden
R.I. No. 084/TK/Tahun 1974 tanggal 13 Desember 1974.
Perjuangan untuk Kaum Wanita
Rasuna
Said setelah menamatkan Sekolah Dasar melanjutkan belajar di pesantren
Ar-Rasyidiyah sebagai satu-satunya santri perempuan . Rasuna Said
kemudian melanjutkan pendidikan di Diniyah School Putri di Padang
Panjang dan bertemu dengan Rahmah El-Yunusiah.
Rasuna Said
sangatlah memperhatikan kemajuan dan pendidikan kaum wanita, beliau
sempat mengajar di Diniyah School Putri sebagai guru namun pada tahun
1930 Rasuna Said berhenti mengajar karena memiliki pandangan bahwa
kemajuan kaum wanita tidak hanya bisa didapat dengan mendirikan sekolah
tapi harus disertai perjuangan politik. Rasuna Said ingin memasukan
pendidikan politik dalam kurikulum sekolah Diniyah School Putri tapi
ditolak.
Rasuna Said mendalami agama pada Haji Rasul atau Dr. H.
Abdul Karim Amrullah yang mengajarkan pentingnya pembaharuan pemikiran
Islam dan kebebasan berfikir yang nantinya banyak mempengaruhi padangan
Rasuna Said.
Kontroversi poligami pernah ramai dan menjadi polemik
di ranah Minang tahun 1930-an. Ini berakibat pada meningkatnya angka
kawin cerai. Rasuna Said menganggap, kelakuan ini bagian dari pelecehan
terhadap kaum wanita.
Perjuangan Politik Rasuna Said
Awal
perjuangan politik Rasuna Said dimulai dengan beraktifitas di Sarekat
Rakyat sebagai Sekretaris cabang. Rasuna Said kemudian juga bergabung
dengan Soematra Thawalib dan mendirikan Persatoean Moeslimin Indonesia
(PERMI) di Bukit Tinggi pada tahun 1930. Rasuna Said juga ikut mengajar
di sekolah-sekolah yang didirikan PERMI dan kemudian mendirikan Sekolah
Thawalib di Padang, dan memimpin Kursus Putri dan Normal Kursus di Bukit
Tinggi
Rasuna Said sangat mahir dalam berpidato mengecam
pemerintahan Belanda. Rasuna Said juga tercatat sebagai wanita pertama
yang terkena hukum Speek Delict yaitu hukum kolonial Belanda yang
menyatakan bahwa siapapun dapat dihukum karena berbicara menentang
Belanda. Rasuna Said sempat di tangkap bersama teman seperjuangannya
Rasimah Ismail, dan dipenjara pada tahun 1932 di Semarang.
Setelah
keluar dari penjara, Rasuna Said meneruskan pendidikannya di Islamic
College pimpinan K.H. Mochtar Jahja dan Dr. Kusuma Atmaja dan pada tahun
1935 Rasuna menjadi pemimpin redaksi majalah Raya.
Karena ruang
gerak yang dibatasi Belanda Rasuna Said pindah ke Medan dan mendirikan
sekolah pendidikan khusus wanita Perguruan Putri dan juga menerbitkan
majalah Menara Putri, yang khusus membahas seputar pentingnya peran
wanita, kesetaraan antara pria wanita dan keislaman.
Pada masa
pendudukan Jepang, Rasuna Said ikut serta sebagai pendiri organisasi
pemuda Nippon Raya di Padang yang kemudian dibubarkan oleh Pemerintah
Jepang.
Rasuna Said setelah Kemerdekaan
Setelah
kemerdekaan Indonesia, H.R. Rasuna Said aktif di Badan Penerangan Pemuda
Indonesia dan Komite Nasional Indonesia. Rasuna Said duduk dalam Dewan
Perwakilan Sumatera mewakili daerah Sumatera Barat setelah Proklamasi
Kemerdekaan, diangkat sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia Serikat (DPR RIS), kemudian menjadi anggota Dewan
Pertimbangan Agung setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959 sampai akhir
hayatnya.