Sutradara, seniman, dramawan, budayawan, wartawan, politikus dan
penyair terkemuka ini selain dianggap sebagian pihak sebagai bapak
perfilman Indonesia, Usmar Ismail juga adalah sosok pejuang
multidimensional yang penuh warna. Karena jasa-jasanya bagi perfilman
Indonesia, nama Usmar Ismail (1921-1971) diabadikan dalam Pusat
Perfilman H. Usmar Ismail di Kuningan, Jakarta
.
Haji
Usmar Ismail Mangkuto Ameh dilahirkan pada tanggal 20 Maret 1920 di
Bukit Tinggi, Sumatera Barat dan wafat di Jakarta pada tanggal 2 Januari
1971 karena pendarahan otak.
Setelah menamatkan pendidikan
dasarnya di HIS Batusangkar, Sumatera Barat, Usmar Ismail yang merupakan
anak bungsu dari enam bersaudara melanjutkan belajar ke MULO-B (Meer
Uitgebreid Lager Onderwijs) di Padang tahun 1935-1939. Di sinilah Usmar
Ismail mulai berkenalan dengan film dengan menjadi pecandu film-film
yang diputar di bioskop Pondok, Padang.
Selepas belajar di MULO,
pada tahun 1941 Usmar Ismail kemudian melanjutkan sekolahnya ke
Yogyakarta. Ia masuk AMS-A II (Algemene Middelbare School) bagian A
jurusan Klasik Barat.
Pada tahun 1953 Usmar Ismail mendapatkan
beasiswa dari Rockfeller Foundation untuk mendalami sinematografi di
Universitas California Los Angles (UCLA).
Penyair dan Wartawan
Pada
masa penjajahan Jepang (1942-45), kuliahnya terganggu dan hanya dengan
berbekal izajah darurat Usmar Ismail pergi ke Jakarta dan tinggal
bersama kakaknya Dr. Abu Hanifah. Usmar Ismail bekerja di Pusat
Kebudayaan (Keimin Bunka Shidosho) bagian kesusasteraan. Usmar Ismail
banyak menulis sajak-sajak yang bernafaskan patriotisme dan cinta tanah
air. Usmar Ismail sempat pula menulis naskah-naskah sandiwara radio
yang kerap dimainkan di radio Hoso Kyoku, milik balatentara Jepang di
Jakarta. Usmar Ismail merupakan generasi penutup yang menulis syair
dengan gaya Pujangga Baru.
Usmar Ismail mendirikan sandiwara
amatir "Maya" pada tahun 1944 bersama kakaknya Dr. Abu Hanifah dan
sahabatnya Rosihan Anwar. Kelompok ini secara teratur mementaskan lakon
di Gedung Komidi (sekarang Gedung Kesenian Jakarta) dan nantinya
menjadi cikal bakal teater modern di Indonesia. Setelah kemerdekaan
Republik Indonesia, bersama Syamsudin Sutan Makmur dan Rinto Alwi, Usmar
Ismail mendirikan surat kabar harian "Rakjat" dan aktif menjadi
wartawan disana. Dikelompok sandiwara amatir ini Usmar Ismail bertemu
Sonia Hermine Sanawi, gadis Betawi yang kemudian dinikahinya.
Kemudian
Usmar Ismail menjadi ketua BPKI (Badan Permusyawaratan Kebudayaan
Indonesia) dan SAI (Serikat Artis Indonesia) selama kurun waktu
1946-48, sekaligus ketua umum Persatuan Wartawan Indonesia (1946-47).
Selain itu Usmar Ismail juga memimpin majalah "Arena", harian "Patriot"
dan majalah "Tentara" di Yogyakarta.
Pada masa ini Usmar Ismail
sempat bergabung dengan TNI dan mendapat pangkat Mayor. Tahun 1948
Usmar Ismail ditangkap Belanda ketika sedang meliput perundingan antara
RI-Belanda. Setelah beberapa lama mendekam dalam tahanan, Usmar Ismail
dipekerjakan di South Pacific Cinema (dibawah tekanan Belanda) untuk
membantu Andjar Asmara yang merupakan awal karirnya dalam perfilman.
Darah dan Doa
Film
Darah dan Doa dibuat pada tanggal 30 Maret 1950, tepat 10 hari setelah
Perfini berdiri atau 80 tahun setelah film Loetoeng Kasaroeng yang
merupakan film pertama yang dibuat di Hindia Belanda dan diputar secara
perdana didepan presiden Soekarno. Akhirnya tanggal 30 Maret ditetapkan
sebagai Hari Film Nasional oleh Dewan Film Nasional sejak tahun 1962.
Usmar Ismail mendirikan Perusahaan Film Nasional Indonesia (Perfini)
pada tahun 1950 dan sempat menyutradarai film pertamanya Darah dan Doa
(1950), Enam Djam di Yogya (1951) dan Dosa Tak Berampun (1951). Usmar
Ismail mengklaim bahwa Darah dan Doa sebagai "Film Indonesia Pertama
tentang Manusia Indonesia dalam Revolusi".
Darah dan Doa dikenal
pula dengan nama The Long March yang mengisahkan perjalanan panjang
pasukan Siliwangi. Usmar Ismail mendapat kritkk tajam dari film
pertamanya yang kontroversial sebab para perwira Angkatan Darat yang
menganggap film tersebut menampilkan tokoh tentara yang tidak tegas.
Karya Usmar Ismail
Kepulangan
Usmar Ismail dari Amerika Serikat membuat kariernya di bidang film
makin menanjak. Film - film yang disutradarainya antara lain: Krisis
(1953), Lewat Djam Malam (1954), Tamu Agung (1955), Tiga Dara (1956)
yang mendapat sambutan besar di kalangan penonton. Bahkan Tamu Agung
mendapat perhargaan sebagai film komedi terbaik dari Festival Film Asia
sedangkan Lewat Djam Malam mendapat perhargaan sebagai film terbaik FPA
pertama tahun 1955, dengan Usmar Ismail sebagai produsernya.
Pedjuang
(1960) mendapatkan penghargaan aktor terbaik di Festival Film Moscow
1961 untuk Bambang Hermanto. Film Usmar Ismail adalah:
- Puntung berasap (puisi)
- Sedih dan Gembira (1949)
- Harta Karun (1949)
- Tjitra (1949)
- Darah dan Doa (1950)
- Enam Djam di Yogya (1950)
- Dosa Tak Berampun (1951)
- Terimalah Laguku (1952)
- Kafedo (1953)
- Krisis (1953)
- Lewat Tengah Malam (1954)
- Tamu Agung (1955)
- Tiga Buronan (1957)
- Jenderal Kancil (1958)
- Asmara Dara (1959)
- Pedjuang (1960)
- Toha Pahlawan Bandung Selatan (1961)
- Anak Perawan Disarang Penjamun (1962)
- Liburan Seniman (1965)
Sepanjang
karirnya Usmar Ismail telah menghasilkan 25 judul film, bersama H
Djamaludin Malik mempelopori terbentuknya Federasi Produser Asia
(Federation of Motion Picture Producers in Asia) di Manila. Usmar Ismail
juga mempelopori diadakannya Festival Film Indonesia yang pertama kali
diadakan tanggal 30 Maret - 5 April 1955, dimana pemenang dari Festival
Film Indonesia ini akan akan memperebutkan FPA.
Untuk prestasinya
di bidang film dan drama, Usmar Ismail mendapatkan penghargaan
Wijayakusuma dari pemerintah Republik Indonesia pada 1962.
Politikus
Selain
di bidang seni dan kesusasteraan Usmar juga aktif di kancah politik.
Pada tahun 1950 Usmar Ismail mendirikan Persatuan Artis Film Indonesia
dan untuk mempromosikan film dan artis nasional Usmar Ismail mendirikan
"Lesbumi" (Lembaga Seniman dan Budayawan Muslimin) pada awal 1960 an
yang bernaung dibawah Nahdatul Ulama (NU).
Pada tahun 1955,
bersama Asrul Sani mendirikan Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI)
sebagai lembaga pembinaan tenaga muda di bidang teater dan film. Usmar
Ismail juga sempat menjadi anggota DPR kabinet Gotong Royong pada
1966-1969 yang juga menjadi pengurus PBNU.
Reference:
Esiklopedia Umum untuk Pelajar, Usmar Ismail, PT. Icthiar Baru van Hoeve, Cetakan Pertama 2005
Jurnal Republik, Taufik Rahzen, Sinema untuk Indonesia, 20 Maret 1950.
Republika,Alwi Shahab, Usmar Ismail Pelopor Festival Film Indonesia, Rubrik Warna, Tanggal 20 Desember 2005.
Taman Ismail Marzuki, Profil Maestro Indonesia: Apa Siapa Orang Film Indonesia 1926-1975
Situs
Web Kepustakaan Nasional: Seri Tokoh Perfilman Indonesia, Perpustakaan
Nasional Indonesia dan Sinematek Indonesia. (www.pnri.go.id)